14 Februari 2024

Book Review: Ours by Adrindia Ryandisza

 Ours

Pengarang: Adrindia Ryandisza
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit Buku: 15 September 2021
Tebal Buku: 208 halaman
Baca di Gramedia Digital
Rating: ⭐⭐⭐











Nikah itu kan semuanya harusnya jadi berdua. Kalau tetap sendiri-sendiri ngapain nikah, kan?
Andi dan Prita sebelumnya adalah rekan kerja sekantor yang telah lama menjalin hubungan. Ketika masih berpacaran, keduanya telah saling terbuka tentang banyak hal. Salah satunya prinsip untuk tidak memiliki anak. Andi dan Prita punya alasan masing-masing dibalik keputusan tersebut. Mereka hanya ingin menghabiskan waktu berdua bahagia sampai tua. Namun, keputusan itu ditentang oleh keluarga Andi yang cukup konservatif. Andi dan prita sering ditanya kapan punya anak, dipertanyakan kesehatan reproduksinya, sampai dianggap melawan kodrat. Berbagai perkataan bernada sinis pun kerap datang menyakiti hati keduanya.

Tidak cukup dibuat pusing dengan tuntutan anak dari keluarga, lingkungan di sekitar Andi dan Prita pun turut menambah masalah hidup mereka. Kedai kopi milik Andi sedang dalam kondisi terancam bangkrut dan Andi diam-diam memikirkan masalah itu sendirian. Di kantor, Prita harus berhadapan dengan Kenzo, rekan kerjanya yang suka ikut campur masalah rumah tangganya dan ibu kandungnya yang telah menelantarkan dirinya sejak kecil. Mampukah mereka menghadapi semuanya bersama-sama?

Ini kali pertama aku membaca karyanya Adrindia yang merupakan jebolan Gramedia Writing Project. Sejak membaca halaman pertamanya, aku sudah tertarik untuk memasukkan buku ini ke daftar bacaan. Menggunakan sudut pandang ketiga, novel ini menceritakan kisah rumah tangga Andi dan Prita yang memutuskan untuk tidak punya anak. Keputusan itu pun ditentang keluarga Andi hingga menyebabkan hubungan rumah tangganya kian rumit. Konflik perbedaan prinsip soal anak ini mengingatkanku dengan ribut-ribut di Twitter dulu perihal pro childfree dan against childfree. Topik childfree masih terbilang tabu dan kontroversial bagi orang-orang Indonesia karena masih memegang erat kepercayaan agama.

Aku mengerti, tapi rasanya bakal sia-sia menjelaskan segala alasan kita ke orang yang nggak sepaham. Mereka hanya mendengar apa yang mereka mau dengar.

Jauh sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan, Andi dan Prita sudah saling terbuka soal banyak hal termasuk keputusan tidak punya anak ini. Bagi Prita, memiliki anak adalah sebuah pilihan. Semua orang bisa punya anak, tetapi tidak semuanya siap. Sedangkan bagi Andi, ia tidak ingin anaknya merasa menjadi beban ketika ia sebagai orang tua tidak mampu memberikan hak-hak anaknya. Sebagai pembaca, aku mendapat banyak ilmu dan pandangan baru tentang pilihan orang-orang yang tidak ingin memiliki anak melalui percakapan empat mata Andi dan Prita. Membaca novel ini rasanya seperti diajarkan untuk memahami dan menghormati perbedaan pandangan orang lain.

Ditulis dengan alur maju, novel ini berfokus pada dua tokoh utamanya yaitu Andi—laki-laki yang bertanggungjawab dan penyayang terhadap istrinya—bisnis kedai kopinya sedang mengalami kerugian. Prita—wanita karir yang suka berpikir sebelum bertindak. Semasa kecilnya yang penuh trauma mendorong dirinya untuk tidak memiliki anak. Begitu pula dengan Andi yang memiliki alasan tersendiri. Di tengah menjalani kehidupan rumah tangganya, Andi dan Prita harus mendengar tuntutan keluarganya untuk segera punya anak. Berbagai spekulasi bermunculan mengenai Prita yang belum saja mengandung anak.

Ibu dan Fitri, kakak perempuan Andi—turut memaksa pasangan tersebut untuk segera punya anak. Ibunya Andi bahkan sering membanding-bandingkan Prita dengan Fitri yang sudah punya empat anak. Baginya, perempuan yang tidak mau punya anak itu sudah menyalahi kodrat. Ibu Andi juga memandang rendah pekerjaan Prita. Segala hasil kerja keras Prita tidak pernah dianggap. Saat membaca adegan kedatangan Ibu Andi ke rumah untuk menanyakan keyakinan atas keputusan mereka, aku jadi ikutan marah dan kesal. Menurutku kata-kata yang dilontarkan Ibu Andi terlalu jahat dan menyakitkan hati. Namun, di saat yang sama aku pun paham bahwa keputusan sepenting itu perlu dibicarakan dengan mertua agar tidak ada salah paham.

Kita hanya perlu tutup telinga. Ini hidup kita, Prita. Kita ngga bisa mengendalikan orang untuk berpikir atau ngomong apa, tapi kita bisa mengendalikan hidup kita. Aku nggak bisa menjamin apa ini terulang lagi apa nggak, tapi aku bakal terus ingetin alasan kenapa kita bersama.

Dalam menceritakan kisah rumah tangga Andi-Prita yang rumit, penulis juga menyisipkan konflik lain seperti Prita yang tiba-tiba didekati rekan kerjanya yang bernama Kenzo dan hubungan Prita dengan ibunya yang membuatnya trauma. Meskipun konfliknya berlapis, penulis berhasil menyelesaikan masalahnya satu per satu dengan baik dan tidak terburu-buru. Pada beberapa chapter, penulis menyisipkan sindiran kepada orang-orang yang suka bertanya kapan punya anak dan menggambarkan nasib pihak perempuan yang selalu disalahkan ketika tidak segera punya anak. Gaya penulisan yang sederhana membuatku mudah mengikuti jalan ceritanya. Kekurangan dari buku ini adalah ada beberapa kalimat yang susunannya kurang rapi sehingga membuat aku kebingungan.

Dulu keluarga saya bilang, punya anak aja, rezeki pasti selalu ada. Ternyata gak segampang itu, Pak. Sekarang yang nyuruh-nyuruh punya anak malah tutup mata kalau saya mau meminjam uang, Pak.

Kisah rumah tangga Andi dan Prita mengingatkan pembaca untuk bertanggungjawab penuh terhadap keputusan dalam memiliki anak. Ketika menjadi orang tua, kita harus mampu memenuhi kebutuhan dan hak anak. Lalu, ketika sedang ada masalah, baiknya dibicarakan secara terbuka kepada pasangan karena berumah tangga artinya semua dipikirkan bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...