20 Agustus 2020

Book Review: Vio, Don't Mess Up by Shania Kurniawan


Vio: Don't Mess Up!
Oleh: Shania Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: April 2019
Tebal Buku: 256 halaman
Rating: 3 of 5 stars
Baca di Gramedia Digital
Langkah pertama keberhasilan adalah keyakinan bahwa kita bisa melakukannya. Saya yakin kamu bisa mengerjakan ujianmu dengan baik. Kamu juga harus yakin.
Viola atau Vio dikenal sebagai siswi yang paling bermasalah di SMA Mayada. Kesekian kalinya Vio membolos kelas mata pelajaran Pak Ginanjar dan melarikan diri ke kantin untuk membeli gorengan favoritnya. Aksi membolos kelas tersebut ketahuan oleh Pak Har, kepala sekolah SMA Mayapada. Vio pun dibawa ke ruang guru. Pak Har menunjukkan buku pelanggaran Vio yang penuh dengan coretan bolpoin merah. Kenakalan Vio tidak hanya membolos saat mata pelajaran berlangsung. Tetapi juga menunggak bayaran gorengan di kantin selama dua semester.
Gue ngga tau kenapa hal-hal itu terjadi sama kita. Nggak akan ada yang pernah tahu, dan kadang mungkin kita ngga perlu tahu. Kita cuma harus terus jalan ke depan.
Pak Har yang sudah tidak bisa menolerir kenakalan Vio tersebut akhirnya mengancam akan menelepon orang tua Vio. Vio tampak tidak keberatan sama sekali karena toh orang tuanya tidak akan peduli. Sampai Pak Har menyebut nama kakaknya, Cello, Vio mulai ketakutan. Vio lebih memilih diberi hukuman apa pun itu daripada dilaporkan ke kakaknya. Sebagai hukumannya, Pak Har mengharuskan Vio belajar rajin dengan dimentori oleh Joshua atau Jo siswa XI MIPA-1 yang pintar dan kaku. Berkat les privat dari Jo, Vio menjadi lebih mudah memahami materi mata pelajaran. Namun, les privat itu juga membuat Vio sering memikirkan Jo.
Kamu harus ingat kalau tidak selamanya kamu boleh dikalahkan masa lalu, dan ada saatnya kamu harus melawannya demi masa depanmu.

Novel Vio: Don't Mess Up ini mengusung tema teenlit seputar kehidupan anak SMA yang cukup ringan dibaca. Dari cover buku yang warnanya ngejreng dengan berbagai school-stuff sudah menggambarkan kisah ceritanya seperti apa. Cover novel ini berhasil menarik perhatianku. Kesannya aestetik gitu. Tokoh utama di novel ini adalah Vio yang sering bikin onar di sekolah. Menurutku kenakalan Vio untuk ukuran anak SMA terbilang wajar sih. Meskipun begitu, Vio ini anaknya cukup rajin, pintar ngeles. Sifatnya yang ceplas ceplos dan suka sarkas menjadi keunikan sendiri. Karena biasanya tokoh teenlit yang suka onar pasti murid laki-laki.

Sifat Vio itu mengimbangi Jo yang kaku seperti robot. Jo suka berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hubungan Vio dan Jo dibangun dengan perlahan melalui kegiatan belajar di sekolah dan di rumah. Setelah mengenal cukup dalam, ternyata Vio dan Jo memiliki ketakutan yang sama: takut ditinggalkan orang yang dicintai. Di sanalah hubungan Vio dan Jo berkembang. Tidak hanya sekadar mentor-murid, tetapi mereka saling menjadi bahu bersandar karena menanggung masalah yang sama. Kedekatan Vio dan Jo ini jauh dari kata romantis. Ada feel bapernya, tapi nanggung.

Bagian kesukaanku adalah interaksi Cello dan Vio yang membuatku iri. Cello tipikal abang-able yang perhatian dan sayang banget sama adiknya. Cello ini tipe abang goals, deh. Perhatiannya ngga main-main: jauh di Belanda tapi selalu sempat menanyakan kabar adiknya. Selain itu hubungan Vio dan Rio terlihat menyenangkan. Kalau Cello lebih dewasa, Rio kelihatan tengil dan suka usil ke Vio.

Ketika pertama kali membaca scene Rio dan Vio, aku kira kalau Rio akan terlibat cinta dengan Vio. Ternyata si Rio itu kakak tirinya Vio. Padahal aku pikir konfliknya akan melibatkan Rio. Oiya, aku nggak ngerti kenapa satu sekolahan bisa menyebar gosip Rio pacarnya Vio? Apakah hubungan kakak beradik mereka memang sengaja disembunyikan? Konflik di dalam novel ini juga mengenai keluarga Vio yang sudah tidak utuh lagi dan konflik batin Jo yang masih suka menyalahkan diri sendiri atas suatu tragedi yang menimpa keluarganya. Penulis menggambarkan dengan baik perasaan Vio yang masih belum ikhlas menerima keadaan keluarga barunya. Sayangnya, konflik keluarga Vio ini kurang dieksplor dan cara penulis menyelesaikan konfliknya terlalu sederhana dan terburu-buru sehingga feelnya pun kurang terasa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...